FALSIFIKASI
Makalah
ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
“Filsafat
Ilmu”
Dosen
Pengampu :
Dr.
M.Asror Yusuf, M.Ag
Disusun
oleh:
Vivi
Ekayanti (92300216014)
PROGRAM
STUDI PENDIDIKAN BAHASA ARAB
PASCA
SARJANA
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN)
KEDIRI
2017
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Filsafat Ilmu
Pengetahuan merupakan sebuah obyek yang terus mengalami perkembangan.
Secara garis besar dan kronologis, perkembangan aliran dalam filsafat ilmu
pengetahuan dapat dibagi kedalam empat aliran, yaitu:Rasionalisme, Empirisme dan
Positivisme, Rasionalisme Kritis
dan Kontruktivisme.
dan Kontruktivisme.
Karena ilmu
pengetahuan selalu ada unsur rasionalismenya, aliran empirisme mengalami
kesulitan dalam kaidah-kaidah logika dan matematika. Disinilah aliran
positivisme muncul untuk mengatasi masalah tersebut. Data observasi yang
diperoleh dapat digunakan untuk ”menghitung”, atau melakukan penjabaran logis
dan deduksi, sebagaimana yang terjadi pada aliran rasionalisme. Dengan
demikian, empirisme dan positivisme memberikan kelonggaran lebih besar kepada
masukan dari empiris dalam membangun ilmu pengetahuan
Dari penjelasan
di atas, aliran rasionalisme dan empirisme termasuk positivisme merupakan dua
aliran yang bertentangan. Rasionalisme kritis berupaya menghubungkan unsur
rasional dan empiris dalam pengetahuan ilmiah. Dengan demikian ilmu pengetahuan
yang dibangun dari proses induktif, harus selalu terbuka terhadap kritik. Ilmu
pengetahuan tersebut terbuka upaya penyangkalan/pembuktian salah (falsifikasi)
yang secara terus menerus sehingga dapat lebih dikokohkan (corroborated).
Dalam makalah
yang akan kami sajikan ini akan mengulas lebih dalam mengenai falsifikasi
(pembuktian salah) yang merupakan buah pikiran dari seorang penganut aliran
rasionalisme kritis dan beliau tidak menyukai pandangan-pandangan yang
tertutup, tidak terbuka terhadap kritikan-kritikan. Beliau adalah Karl Raimund
Popper.
B. Rumusan
Masalah
1.
Siapakah Karl Raimund Popper?
2.
Apa yang dimaksud metode induktif?
3.
Apa yang dimaksud garis demarkasi?
4.
Apa yang dimaksud tiga dunia Karl Popper?
5.
Bagaimana Falsifikasi Karl Popper ?
6.
Bagaimana relevansi falsifikasi dalam dunia
pendidikan ?
C.
Tujuan Masalah
1.
Mengetahui biografi Karl Raimund Popper.
2.
Mengetahui metode induktif.
3.
Mengetahui garis demarkasi.
4.
Mengetahui tiga dunia Karl Popper.
5.
Mengetahui falsifikasi Karl Popper.
6.
Mengetahui relevansi falsifikasi dalam dunia
pendidikan ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Biografi Karl Raimund Popper
Karl Raimund Popper lahir di Wina pada tanggal 28 Juli tahun 1902.
Ayahnya Dr. SimonSigmund Carl Popper seorang pengacara yang sangat minat pada
Filsafat. Perpustakaannya luas mencakup kumpulan-kumpulan karya filsuf besar
dan karya-karya mengenai problem sosial. Agaknya Karl Popper mewarisi minatnya
pada filsafat dan problem sosial dari ayahnya.[1]
Orangtuanya keturunan Yahudi, tetapi tidak lama setelah menikah mereka berdua
dibabtis dalam gereja Protestan. Ayahnya adalah sarjana hukum dan pengacara
yang mencintai buku, dan musik.
Pada umur 16 tahun Popper meninggalkan sekolahnya “realgymnasium”
dengan alasan bahwa pelajaran-pelajarannya sangat membosankan. Lalu ia menjadi
pendengar bebas pada Universitas Wina dan baru tahun 1922 ia diterima sebagai
mahasiswa.
Ketika umur 17 tahun, selama beberapa tahun ia menganut komunisme,
tetapi tidak lama kemudian ia meninggalkan aliran politik ini, karena ia yakin
bahwa penganutnya menerima begitu saja suatu dokmatisme yang tidak kritis dan
ia menjadi anti Marxis untuk seumur hidup.[2]
Perjumpaannya dengan Marxisme diakui olehnya sebagai satu di antara
peristiwa penting dalam perkembangan intelektualnya. Dalam outobiografinya
bercerita bahwa ia mengikuti aneka macam kuliah, tentang sejarah,
kesusasteraan, psikologi, filsafat bahkan tentang ilmu kedokteran. Pada tahun
yang sama tahun 1919, Popper mendengar apa yang dikerjakan oleh Einstein dan
menurut pengakuannya merupakan suatu pengaruh dominan atas pemikirannya, bahkan
dalam jangka panjang pengaruhnya sangat berarti.[3]
Dalam suatu waktu Popper mendengarkan ceramah Einstein di Wina. Ia
terpukau oleh sikap Einsten terhadap teorinya yang tidak dapat dipertahankan
kalau gagal dalam tes tertentu. Ia mencari eksperimen-eksperimen yang kesesuaiannya
dengan ramalan-ramalannya belum berarti meneguhkan teorinya.
Sedangkan ketidaksesuaian antara teori dengan eksperimen akan
menentukan apakah teorinya bisa dipertahankan atau tidak. Sikap ini menurutnya
berlainan dengan sikap Marxis yang dogmatis dan selalu mencari
pembenaran-pembenaran (verifikasi) terhadap teori kesayangannya. Sampai pada
kesimpulan bahwa sikap ilmiah adalah sikap kritis, yang tidak mencari
pembenaran-pembenaran melainkan tes yang serius, pengujian yang dapat
menyangkal teori yang diujinya, meskipun tak pernah dapat meneguhkannya.
Pada tahun 1928 ia meraih gelar Doktor Filsafat dengan suatu
disertasi tentang ZurMethodenfrage der Denkp Psychologei (Masalah Metode
dalam Psikologi Pemikiran), suatu karangan yang tidak diterbitkan. Pada tahun
berikutnya Popper memperoleh gelar Diploma pada bidang Matematika dan ilmu
pengetahuan Alam. Dalam catatan sejarah, Popper tidak pernah menjadi anggota
Lingkaran Wina, tetapi ia mengenal anggota Lingkaran Wina yang bekerja di
universitas dan pada beberapa di antara mereka, ia mempunyai hubungan khusus
dengan anggota Lingkaran Wina di antaranya ViktorKraft, Herert Feigl.
Dalam usaha studinya, Popper belajar banyak dari Karl Buhler,
Profesor Psychologi di Universitas Wina yang paling penting dalam
perkembangannya di masa mendatang ialah teori Buhler tentang tiga tingkatan
bahasa yaitu fungsi ekspresi, fungsi stimulasi dan fungsi deskriptif.
Menurut Buhler fungsi pertama selalu hadir pada bahasa manusia
maupun binatang, sementara fungsi yang ketiga khas pada bahasa manusia.Popper
sendiri kelak menambahkanfungsi yang keempat yaitu fungsi argumentatif, yang
dianggap penting karena merupakan basispemikiran krisis.
Pada tahun kedua di Institut Pedagogis, Popper berjumpa dengan Prof
Heinrich Gomperzdan banyak dimanfaatkan untuk berdiskusi dengan problem
psikologi pengetahuan atau psikologi penemuan.[4]
Hasil pertemuannya dengan Prof. Heinrich melahirkan keyakinan Popper bahwa data
indrawi, data atau kesan sederhana itu semua khayalan yang berdasarkan usaha keliru
yang mengalihkan Atomisme dari fisika ke psikologi.
Sesudah perang dunia II selesai, Popper diangkat sebagai dosen di London
School ofEconomics, sebuah institut di bawah naungan Universitas London. Di
sini ia mempersiapkansuatu buku yang menguraikan perkembangan pemikirannya
sejak buku The Logic of ScientificDiscovery, di antara buku yang
diterbitkan antara lain Realism and Aim of Science: QuantumTheory and the
Schism in Physics The Open Sociaty and Its Enemies, dan The Poverty
ofHistoricism yang memberi analisis dan kritik Popper atas pemikiran tiga
tokoh yang menurut diatermasuk historisisme, yaitu Plato, Hegel, dan Marx.
Pada tahun 1977 Popper banyak memberikan ceramah dan kuliah tamu di
Eropa, Amerika,Jepang dan Australia. Ia banyak mengenali secara pribadi
ahli-ahli kimia modern yang besar seperti, Albert Einstein, Neil Bohr, Edwin
Schrodinger. Popper meninggal dunia pada tanggal 17 September 1994 di Croydon,
London Selatan, dalam usia 92 tahun akibat komplikasi penyakit kanker.
Menjelang akhir hayatnya beberapa karyanya diterbitkan dengan
bantuan oranglain. Buku yang paling penting dari periode terakhir ini adalah A
World of Propensities (1999)dimana ia menguraikan pemikiran definitifnya
tentang probabilitas dalam logika dan IlmuPengetahuan.[5]
B.
Metode Induktif
Salah satu metode ilmiah dalam wacana saintifik adalah metode
induksi. Secara historis, metode induksi sudah dimulai oleh Aristoteles. Ia
menggunakan istilah induksi untuk mengacu ke proses pemikiran dimana
akal budi manusia, dengan bertolak dari pengetahuan tentang hal-hal yang
‘khusus’, menyimpulkan pengetahuan yang ‘umum’.[6]
Secara teknis, Aristoteles menguraikan dengan jelas setidaknya dua macam
induksi, yang diistilahkan induksi sempurna (perfect) dan luas (ampliative).
Induksi sempurna (perfect) adalah menarik kesimpulan umum
yang diambil berdasarkan pengetahuan tentang tiap contoh yang diteliti. Sedangkan
induksi luas (ampliative) adalah menarik kesimpulan dari contoh-contoh
sebagai sampel kelas dan memuat generalisasi dari sifat-sifat khas sampel itu
ke sifat-sifatnya khas kelas.[7]
Pada perkembangannya Aristoteles tidak memberi objek perhatian terhadap
persoalan induksi dan justru mengembangkan metode deduksi sebagai jalan
sempurna menuju ke pengetahuan baru.[8]
Namun, pada abad ke-17, Francis Bacon mengkritisi metode deduktif
Aristoteles yang tidak menghasilkan pengetahuan-pengetahuan baru. Bagi Bacon,
metode yang dicetuskan Aristoteles tidak sanggup menghasilkan penemuan-
penemuan empiris. Ia mengatakan bahwa metode yang dicetuskan itu hanya dapat
membantu mewujudkan konsekuensi deduktif daripada yang sebenarnya telah
diketahui. Agar pengetahuan itu berkembang dan demi memperoleh pengetahuan yang
benar-benar berguna, konkret, dan praktis, metode deduktif harus ditinggalkan
dan diganti dengan metode induktif.
Bacon berhasil menemukan suatu metode induksi baru yang benar-benar dapat
dipertanggung jawabkan.[9]
Metode induksi adalah suatu metode atau
suatu proses penyisihan atau pelenyapan, dengannya semua sifat, yang tidak
termasuk sifat yang tunggal ditiadakan. Tujuannya ialah untuk memiliki sebagai
sisanya sifat-sifat yang menonjol dalam fakta-fakta yang diamati. Hal ini dapat
dijelaskan sebagai berikut:
Bacon ingin menemukan sifat panas. Ia
memahami panas adalah gerakan-gerakan cepat yang tidak teratur dari
bagian-bagian kecil benda-benda. Supaya sifat panas dapat ditemukan ia membuat
daftar-daftar benda-benda panas dan benda-benda dingin dan juga benda-benda
yang mempunyai tingkatan panas yang bermacam-macam. Ia berharap bahwa daftar- daftar ini menampakkan beberapa corak
watak panas yang senantiasa berada di dalam benda-benda panas, dan yang
senantiasa tidak berada dalam benda-benda dingin serta yang senantiasa berada
dalam benda-benda yang panasnya bermacam-macam tingkatannya.
Dengan metode ini, ia berharap menemukan
hukum-hukum yang umum, yang (dengan pengujian-pengujian dalam keadaan-keadaan
yang baru) dapat naik, dari hukum yang masih rendah tingkatannya menuju ke
hukum yang tertinggi. Untuk melihat operasional metode induksi beserta
syarat-syarat yang menyertainya, Thomas Henry Huxley mencontohkan sebagai
berikut:
“Anggaplah kita mengunjungi warung buah-buahan
karena ingin membeli apel. Kita ambil sebuah, dan ketika mencicipinya, terbukti
itu masam. Kita perhatikan apel itu dan terbukti bahwa apel itu keras dan
hijau. Kita ambil sebuah sebuah yang lain, itu pun keras, hijau dan masam. Si
pedagang menawarkan apel ketiga. Akan tetapi, belum mencicipinya, kita
memerhatikannya dan terbukti yang itu pun keras dan hijau, dan seketika itu
kita diberitahukan, bahwa kita tidak menghendakinya, karena yang itu pun pasti
masam, seperti lain-lainnya yang sudah kita cicipi”.
Jalan pikiran si calon pembeli sehingga ia
sampai pada kesimpulan untuk tidak membeli apel, ialah sebuah induksi. Huxley
menjelaskan proses induksi sebagai berikut: “Pertama-tama, kita telah melakukan
kegiatan yang disebut induksi. Kita telah menemukan bahwa dalam dua kali
pengalaman sifat keras dan hijau pada apel itu selalu bersama-sama dengan sifat
masam. Demikianlah pada peristiwa yang pertama, dan itu diperkuat dalam
peristiwa yang kedua. Memang itu dasar yang amat sempit, akan tetapi sudah
cukup untuk dijadikan dasar induksi, kedua fakta itu bisa digeneralisasikan dan
kita percaya akan berjumpa dengan rasa masam pada apel, bila kita temui sifat
keras dan hijau. Dan ini suatu induksi yang tepat.[10]
Kalau dirumuskan secara formal, penalaran
di atas menurut Huxley adalah demikian:
Apel 1 keras dan hijau adalah masam.
Apel 2 keras dan hijau adalah masam.
Semua apel keras dan hijau adalah masam.[11]
Induksi seperti di atas sesuai dengan
definisi Aristoteles, yaitu proses peningkatan dari hal-hal yang bersifat
individual kepada yang bersifat universal. Di situ premisnya berupa
proporsi-proporsi singular, sedang konklusinya sebuah proposisi universal, yang
berlaku secara umum. Maka induksi dalam bentuk ini disebut generalisasi. Akan
tetapi, penalaran calon pembeli itu juga dapat dirumuskan dalam bentuk lain
sebagai berikut:
Apel 1 keras dan hijau adalah masam.
Apel 2 keras dan hijau adalah masam.
Apel 3
keras dan hijau.
Apel 3 adalah masam.
Bentuk penalaran di atas juga suatu
induksi, namanya analogi induktif.
Untuk
analogi induktif ini, mungkin batasan Aristoteles kurang mengena. Meskipun
benar bahwa tidak mungkin apel 3 itu masam kalau tidak semua apel keras dan
hijau itu masam, akan tetapi konklusi penalaran di atas bukan suatu proposisi
universal, melainkan suatu proposisi singular.[12]
Dari contoh dua jenis induksi di atas dapat diketahui ciri-ciri induksi sebagai
berikut:
1.
Premis-premis
dari induksi ialah proposisi empirik yang langsung kembali kepada suatu
observasi indra atau proposisi dasar. Proposisi dasar menunjuk kepada fakta,
yaitu observasi yang dapat diuji kecocokannya dengan tangkapan indra. Pikiran
tidak dapat mempersoalkan benar tidaknya fakta, akan tetapi hanya dapat
menerimanya. Bahwa apel 1 itu keras, hijau dan masam, hanya indralah yang dapat
menangkapnya. Sekali indra mengatakan demikian, pikiran tinggal menerimanya.
2.
Konklusi
penalaran induktif itu lebih luas daripada yang dinyatakan di dalam
premis-premisnya. Premis-premisnya hanya mengatakan bahwa apel yang keras, hijau,
dan masam itu hanya dua, apel 1 dan 2. Itulah yang diobservasi dan itulah yang
dirumuskan di dalam premis-premis itu. Kalau dikatakan, bahwa juga apel 3 itu
masam, hal itu tidak didukung oleh premis-premis penalaran. Menurut
kaidah-kaidah logika, penalaran itu tidak shahih, pikiran tidak terikat untuk
menerima kebenaran konklusinya.
3.
Meskipun
konklusi induksi itu tidak mengikat, akan tetapi manusia yang normal akan
menerimanya, kecuali kalau ada alasan untuk menolaknya. Jadi konklusi penalaran
induktif itu oleh pikiran dapat dipercaya kebenarannya atau dengan perkataan
lain, konklusi induksi itu memiliki kredibilitas rasional. Kredibilitas
rasional adalah probabilitas. Probabilitas itu didukung oleh pengalaman,
artinya konklusi induksi itu menurut pengalaman biasanya cocok dengan observasi
indra, tidak mesti harus cocok.[13]
C.
Garis Demarkasi
Problem demarkasi dirumuskan oleh
Popper sebagai problem mengenai bagaimana menemukan sebuah kriteria yang bisa
membedakan ilmu-ilmu empiris dari matematika, logika dan system-sistem metafisik.[14]
Solusi Popper terhadap induksi ternyata membangkitkan cara pandang yang baru
terhadap problem awalnya yakni, problem seputar kriteria demarkasi ilmiah yang
tepat.
Kriteria verifiabilitas bukanlah
suatu kriteria demarkasi ilmu, melainkan sebagai kriteria kemaknaannya. Bermakna
tidaknya suatu pernyataan atau hipotesis ilmiah ditentukan oleh corak empiris
positifnya. Logika induktif dan prinsip verifiabilitas mengakibatkan
pengetahuan yang bukan ilmiah (metafisika) tidak bermakna sama sekali. Kriteria
demarkasi dan logika induktif mengakibatkan terjadinya percampurbauran antara
metafisika dan ilmu pengetahuan, yang pada gilirannya dapat mengaburkan
kedua-duanya.[15]
Hal inilah yang membuat Karl Popper menentang gagasan dari lingkaran Wina dan
membuat demarkasi lain dengan kriteria falsifikasi.
Solusi Popper tentang Problem
Demarkasi
Popper hendak merumuskan sebuah kriteria demarkasi antara ilmu dan
non ilmu (metafisika). Kriteria demarkasi yang digunakan oleh Popper adalah
kriteria falsifiabilitas (kemampuan dan kemungkinan disalahkan atau disangkal).
Setiap pernyataan ilmiah pada dasarnya mengandung kemampuan disangkal, jadi
ilmu pengetahuan empiris harus bisa diuji secara deduktif dan terbuka kepada
kemungkinan falsifikasi empiris. Contoh:
Akan terjadi atau tidak terjadi hujan di sini esok
Akan terjadi hujan di sini esok
Pernyataan (1) tidak bersifat empiris oleh karena tidak dapat
disangkal. Sedangkan pernyataan (2) bersifat empiris karena dapat disangkal.
Kriteria demarkasi Popper didasarkan
pada suatu asimetri logis antara verifiabilitas dan falsifiabilitas.[16]
Pernyataan universal tidak bersumber dari pernyataan tunggal, tetapi sebaliknya
bisa bertentangan dengannya. Dengan logika deduktif, maka generalisasi empiris
atau pernyataan universal dapat diuji dan disangkal secara empiris, tetapi
tidak dapat dibenarkan. Hal ini berarti bahwa hukum-hukum ilmiah pada dasarnya
dapat diuji, kendatipun tidak dapat dibenarkan atau dibuktikan secara induktif.
Dari uraian di atas dapat
disederhanakan sebagai berikut:
Problem
demarkasi dirumuskan oleh Popper sebagai problem mengenai bagaimana menemukan
sebuah kriteria yang bisa membedakan ilmu-ilmu empiris dari matematika,
logika dan sistem-sistem metafisik.[17] Solusi Popper terhadap induksi
ternyata membangkitkan cara pandang yang baru terhadap problem awalnya yakni,
problem seputar kriteria demarkasi ilmiah yang tepat.
Kriteria
verifiabilitas bukanlah suatu kriteria demarkasi ilmu, melainkan sebagai
kriteria kemaknaannya. Bermakna tidaknya suatu pernyataan atau hipotesis ilmiah
ditentukan oleh corak empiris positifnya. Logika induktif dan prinsip
verifiabilitas mengakibatkan pengetahuan yang bukan ilmiah (metafisika) tidak
bermakna sama sekali. Kriteria demarkasi dan logika induktif mengakibatkan
terjadinya percampurbauran antara metafisika dan ilmu pengetahuan, yang pada
gilirannya dapat mengaburkan kedua-duanya. Hal
inilah yang membuat Karl Popper menentang gagasan dari lingkaran Wina dan
membuat demarkasi lain dengan kriteria falsifikasi.
D.
Perspektif Tiga Dunia Karl Popper
Popper
yang berasal dari Austria ini dan lebih banyak dikenal karena teori
falsifikasinya (‘lawan’ teori verifikasi) itu membagi dunia menjadi tiga
tingkatan:
a. Dunia 1, yang berisi dunia fisik. Batu dan bintang
adalah contohnya.
b. Dunia 2, adalah dunia proses atau pengalaman. Kalau
kita bicara tentang
kegalauan, misalnya, itu ada di
‘dunia 2’. Baik pengalaman sadar dan tidak sadar juga masuk dalam dunia ini. Ini
adalah dunia ‘pengalaman subjektif’. Semua proses berpikir
yang bersifat konkret masuk ke dunia ini.
c.
Dunia 3 adalah dunia yang berisi
produk hasil pemikiran manusia. Contohnya: rumus matematika, teori, lagu, dan
simponi. Semua konten hasil pemikiran yang bersifat abstrak
masuk ke dalam dunia ini.
Lukisan
adalah ‘dunia 3’ kalau dianggap sebagai konten hasil
‘pemikiran’ pelukisnya. Karenanya, Popper tidak setuju kalau lukisan dianggap
sebagai ‘ekspresi diri’. Seharusnya bagi pelukis, yang lebih penting adalah
lukisannya bukan dirinya.
Contoh lain: Sebuah buku, secara
fisik adalah ‘dunia 1’, tetapi pemikiran yang ada di dalamnya adalah ‘dunia 3’.
‘Dunia 3’ di sini ‘diperangkap’ di ‘dunia 1’. Bisa jadi ‘dunia 3’ yang
sama dapat terperangkap dalam ‘dunia 1’ yang berbeda, seperti buku dengan isi
yang sama diterbitkan dalam sampul dan ukuran yang berbeda. Ketika kita
membakar buku tersebut, maka ‘dunia 1’ akan musnah, tetapi ‘dunia 3’, ide yang
dikandung buku masih dalam otak penulis, dan dapat berpindah ke dalam ‘dunia 2’
ketika seseorang membaca buku tersebut. Ketika seseorang membaca sebuah tulisan
di sumber yang lain, mungkin akan berkomentar, “Kethoke masalah ini
sudah dibahas di buku itu deh“. Ini adalah ‘dunia 2’, dunia
pengalaman subjektif. Kita juga bisa berkomentar, “Buku ini lebih bagus daripada
buku itu”. Kini kita masuk ke‘dunia 3’.
Dari
penjelasan di atas, pandangan tiga dunia Karl Popper dapat disederhanakan
sebagai berikut:
Dunia 1
Kenyataan
dunia fisis
Objektivisme
kasar
Dunia
2
Kenyataan
psikis dalam diri manusia
Subjektivisme
semata
Dunia
3
Sintesa
objektivisme dan subjektivisme
Hipotesa,
hukum, teori ciptaan manusia.
Hasil
kerja sama antara dunia 1 dan dunia 2
Seluruh
bidang kebudayaan, seni, metafisika, agama, dll.
Dunia
3
Dunia 3 hanya ada ketika dihayati, yakni
dalam karya dan penelitian ilmiah, dalam studi yang sedang berlangsung, membaca
buku, dalam ilham yang sedang mengalir dalam diri para seniman, dan penggemar
seni yang mengandaikan adanya suatu kerangka.
Sesudah penghayatan, semuanya mengendap menjadi bentuk-bentuk
fisik (dunia 1).
Ketika manusia menggauli dunia 3 dan
dunia 1, manusia membangkitkan kembali dan mengembangkan kemampuan psikisnya
dalam dunia 2 lalu menghasilkan dunia 3, begitu seterusnya.
E.
Falsifikasi
Dalam konteks
penolakan terhadap induktivisme para pendukung teori falsifikasi menyatakan
bahwa setiap penelitian ilmiah dituntun oleh teori tertentu yang mendahuluinya.
Karena itu, semua keyakinan bahwa kebenaran teori-teori ilmiah dicapai melalui
kepastian hasil observasi, sungguh-sungguh ditolak. Teori merupakan hasil
rekayasa intelek manusia yang kreatif dan bebas untuk mengatasi problem-problem
yang dihadapinya dalam kehidupan sehari-hari. Teori-teori itu kemudian diuji
dengan eksperimen-eksperimen atau observasi-observasi. Terori yang tidak dapat
bertahan terhadap suatu eksperimen harus dinyatakan gagal dan digantikan oleh
teori spekulatif lain. Itu berarti, ilmu pengetahuan berkembang melalui
kesalahan dan kekeliruan, melalui hipotesis dan refutasi.
Menurut teori
falsifikasi, ada teori yang dapat dibuktikan salah berdasarkan hasil observasi
dan eksperimen. Ilmu pengetahuan tidak lain dari rangkaian hipotesis-hipotesis
yang dikemukakan secara tentatif untuk menjelaskan tingkah laku manusia atau
kenyataan dalam alam semesta. Tetapi tidak setiap hipotesis dapat begitu saja
diklasifikasikan di bawah ilmu pengetahuan. Hipotesis yang layak disebut
sebagai teori atau hukum ilmiah harus memenuhi syarat fundamental berikut:
hipotesis itu harus terbuka terhadap kemungkinan falsifikasi.
Contoh:
1. Tidak pernah turun hujan pada
hari-hari Rabu
2. Semua substansi akan memuai jika
dipanaskan
Pernyataan
(1) dapat difalsifikasikan karena dengan suatu observasi kita dapat menunjukkan
bahwa pada hari Rabu terntentu ada hujan. Pernyataan (2) pun dapat
difalsifikasi karena melalui observasi kita dapat memperlihatkan bahwa ada
substansi tertentu tidak memuai jika dipanaskan.
Pernyataan berikut ini tidak memenuhi syarat
yang dikemukakan oleh Popper dan konsekuensinya tidak dapat difalsifikasikan:
1. Baik pada hari hujan maupun tidak
hujan saya datang
Tidak
ada suatu pernyataan observasi yang secara logis dapat menyangkal pernyataan
(1). Pernyataan ini benar, bagaimanapun keadaan cuaca. Pernyataan di atas ini
tidak dapat difalsifikasikan, sebab semua kemungkinan yang akan terjadi atau
diturunkan dari pernyataan di atas, tetap benar.
Falsifikasi
merupakan metode yang digunakan oleh Popper untuk menolak gagasan dari
lingkaran Wina tentang metode verifikasi induktif. Alasan penolakan Popper ini,
karena dalam rangkah membedakan ilmu yang bermakna dan tidak bermakna masih
menjunjung tinggi induksi.[18]
Beberapa kritik yang dikemukakan Popper terhadap prinsip verifikasi.
Pertama,
prinsip verifikasi tidak pernah mungkin untuk menyatakan kebenaran hukum-hukum
umum. Menurut Popper, hukum-hukum umum dan ilmu pengetahuan tidak pernah dapat
diverifikasi. Karena itu, seluruh ilmu pengetahuan alam (yang sebagian besar
terdiri dari hukum-hukum umum tidak bermakna, sama seperti metafisika).
Kedua,
sejarah membuktikan bahwa ilmu pengetahuan juga lahir dari pandangan-pandangan
metafisis. Karena itu Popper menegaskan bahwa suatu ucapan metafisis bukan saja
dapat bermakna tetapi dapat benar juga, walaupun baru menjadi ilmiah setelah
diuji.
Ketiga,
untuk menyelidiki bermakna atau tidaknya suatu ucapan atau teori, lebih dulu
harus kita mengerti ucapan atau teori itu. Solusi yang diberikan oleh Popper
terhadap problem induksi ternyata mengarahkan perhatiannya secara lebih serius
kepada problem demarkasi, atau problem batas antara pengetahuan yang ilmiah dan
pengetahuan yang bukan ilmiah.Untuk itu pada bagain ini, penulis terlebih
dahulu mengangkat problem demarkasi ini sebagai titik tolak dari falsifikasi
Popper.
Metode falsifikasi sederhana saja dengan
observasi terhadap angsa-angsa putih, betapapun besar jumlahnya, orang tidak
dapat sampai pada kesimpulan bahwa semua angsa berwarna putih, tetapi sementara
itu cukup satu kali observasi terhadap seekor angsa hitam untuk menyangkal
pendapat tadi.” Jadi, dengan pembuktian seperti itulah sebuah hukum ilmiah
berlaku. Bahwa bukan apakah suatu hukum ilmiah dapat dibenarkan melainkan dapat
dibuktikan salah.
F. Relevansi Falsifikasi dalam Dunia
Pendidikan
Dalam dunia pendidikan, falsifikasi dapat dicontohkan sebagai
berikut:
Ketika dalam suatu kelas, kelas 2D. Di
dalam kelas tersebut ada 23 anak Sebagian besar dari mereka banyak anak yang
nakal. Nah, dari sana kita dapat melihat bahwasanya sebagian besar anak kelas
2D adalah anak yang nakal. Dari pernyataan umum tersebut dapat difalsifikasikan bahwa ada anak yang tidak nakal di kelas 2D.
Artinya dari 23 anak di kelas 2D ada anak yang tidak nakal. Nah, untuk
mengetahui berapa anak yang tidak nakal itu dapat dilakukan pencarian bukti
dengan melakukan penelitian di kelas tersebut.
BAB III
KESIMPULAN
1. Karl Raimund Popper
adalah tokoh popular dalam aliran falsifikasi.
2. Metode induktif adalah sebuah mentode dari statement singular
atau tunggal ke statement general atau umum.
3. Garis demarkasi adalah garis pemisah antara bidang ilmiah dan
bidang non ilmiah, antara ilmu pengetahuan dan bukan ilmu pengetahuan.
4. Tiga Dunia Karl Popper yaitu,
a. Dunia 1 adalah dunia fisik
b. Dunia 2 adalah dunia pengalaman.
c. Dunia 3 adalah dunia produk pemikiran.
5. Falsifikasi adalah penarikan sebuah kesimpulan dari sebuah
kesalahan.
6. Relevansi falsifikasi dalam dunia pendidikan yakni dengan
menghubungkan teori falsikasi dalam dunia pendidikan. Dan untuk mencari
kebenaran dari statement falsifikasi dilakukan pencarian bukti yang mendukung
akan statement falsifikasi tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Bagus, Lorens.Kamus Filsafat
Bertens, K.2002.Filsafat Barat Kontemporer;Inggris-Jerman.
Jakarta: Gramedia
Crowther,Jonathan.1995.Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current
English.New York: Oxford University Press
Hidayat, Komarudin.2003.Menafsirkan Kehendak Tuhan.Bandung:
Teraju Mizan
Kattsoft,Louis O.2004.Pengantar Filsafat.Yogyakarta:Tiara
Wacana
Macintyre, A.1967.The Encyclopedia of Philosophy.New
York:The Macmilan Company and The Free Press
Popper, Karl. 1969. Conjectures
and Refutations; The Growth of Scientific Knowledge. London: Routledge and Kegan Paul
Popper, Karl. 1968.The Logic of Scientific Discovery.London:
Hutchinson
Sibawaihi.2011.Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Fakultas Tarbiyah dan
Keguruan UIN Sunan Kalijaga
[1] Alfon Taryadi,
Epistemologi Pemecahan Masalah Menurut Karl R Popper (Jakarta: Gramedia,
1991),1.
[2] K Bertens, Filsafat
Barat Kontemporer Inggris-Jerman (Jakarta : Gramedia, 2003), 72.
[3] Alfon, Epistemologi,
3.
[4] Alfons, Epistemologi,
4.
[5] K Berten, Filsafat
Barat, 76.
[6]Karl R.Popper, The
Logic of Scientific Discovery (New York: Routledge, 2005),hlm.xix.
[7]Loren Bagus, Kamus
Filsafat (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002), hlm.342.
[8]K. Bertens, Sejarah
Filsafat Yunani, op.cit., hlm.169.
[9]Jan Hendrik
Rapar, Pengantar Filsafat (Yogyakarta: Kanisius, 1996), hlm.113-114.
[10]R. G.
Soekadijo, Logika Dasar (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001),
hlm.131.
[14] J.A.Ufi. Metodologi
Problem Solving dalam Pandangan Karl R. Popper ( Skripsi S-1 STF Seminari
Pineleng, Manado, 1998), hlm.32.
[15] K.R. Popper,
“The Logic of Scientific Discovery (New York: Basic Books, 1959) hlm 34.
[16]Ibid.
[18]K.R.
Popper, “The Logic Scientific Discovery”
( New York: Basic Books, 1959), hlm. 56.
Comments (0)
Posting Komentar